Mengingat Bapak Pendidikan Ki Hajar Dewantara, dan Relevansi Pendidikan Kekinian

“Sekolahlah sampai engkau tahu sekolah gagal membodohimu” Pram.
Untuk pertama kalinya, kurang dari setahun lalu pembunuhuhan berlatar Sekolah Dasar terjadi di Indonesia. Bahkan mungkin di dunia. Aktornya siswa kelas 3 SD berusia 10 tahun yang memukul siswa seusianya hingga tewas. Hal ini merupakan pukulan telak bagi pendidikan kita, sekalipun sang aktor belum dewasa dan cukup umur bila dipidana. Namun, kekerasan antar siswa di sekolah dasar sangat layak mendapatkan perhatian serius. Karena apa yang dilakukan sesorang anak berusia 10 tahun adalah cerminan apa yang diajarkan oleh lingkungannya.
Mengingat Bapak Pendidikan Ki Hajar Dewantara, dan Relevansi Pendidikan Kekinian
Sumber Gambar : klikkabar.com
Belum lama ini, di wilayah Indonesia timur, seorang wali murid menjebloskan seorang guru ke bui karena mencubit anaknya. Mungkin zaman telah berubah. Karena ada juga seorang oknum guru yang berbuat asusila terhadap siswinya. Dan kejadian ini berlatar sekolah menengah. Masih dalam ruang lingkup lembaga pendidikan.

Dan beberapa hari lalu, FULL DAY SCHOOL menimbulkan pro-kontra yang cukup luas di masyarakat. Kebijakan ini digadang-gadang dapat mendukung implementasi dari pendidikan karakter pada siswa. Tetapi di lain pihak, juga dikhawatirkan akan mematikan Madrasah Diniyah dan TPQ yang sejak dulu konsen dalam urusan pendidikan akhlak-keagamaan di masyarakat. Meskipun kebijakan ini telah dibatalkan, kita tidak bisa begitu saja menganggapnya selesai. Bahwa kita tidak pernah selesai menelaah akar masalah pendidikan di Indonesia. Duh, sering membuat solusi yang kian memperkeruh keadaan.

Dalam pada itu, saya ingin mengajak kita untuk mengingat seorang mentri pendidikan pertama Republik Indonesia. Tepatnya bapak pendidikan Ki Hajar Dewantara. Bukan kebijakan beliau yang ingin saya ketengahkan. Namun sebuah ajaran beliau tentang pendidikan yang bagi saya, paling tidak tak kalah jitunya dengan para pakar pendidikan dunia.

Niteni, Niruni, dan Nemoake.  Merupakan ajaran beliau yang memiliki dimensi luas dan menyentuh segala aspek kehidupan. Niteni (mengamati/observasi), belajar melalui mengamati. Mengamati siapa diri kita, lingkungan, dan alam. Maka kita akan mendapat informasi untuk Niruni (menirukan/imitasi). Menirukan perkataan yang didengar, sikap perbuatan yang didapat serta pekerjaan yang dilihat. Baru setelah itu kita bisa Nemoake (menemukan/discovery). Menemukan nilai mana yang patut ditebarkan atau dibuang dalam menjalani kehidupan sebagai seorang insan. Menemukan sesuatu yang membawa kemaslahatan bagi lingkungannya, untuk bangsa bahkan dunia.

 Bagaimana siswa 10 tahun itu melihat, mendengar, menirukan dan melakukan perbuatan yang berpendidikan. Serta menjauhkannya dari perkara yang dapat menciderai perilakunya. Maka di sini membutuhkan peran dan sinergitas dari orang tua, guru dan masyarakat untuk bersama-sama mengawal dunia pendidikan kita.

Kita juga tidak boleh meninggalkan sejarah dan ajaran luhur para pendahu bangsa Indonesia. Karena bisa jadi, di sanalah terdapat benang merah yang mampu memberikan solusi untuk mengatasi akar masalah pendidikan. Konsep pendidikan Niteni, Niruni, dan Nemoake ala Ki Hajar Dewantara perlu dilestarikan bahkan dikembangkan untuk menutupi keringnya jati diri dan ideologi pendidikan bangsa ini. Oleh karena itu, peran pemerintah sangatlah vital dalam membuat kebijakan yang tepat sasaran.

Akhirnya, ini merupakan sekelumit unek-unek yang ingin saya curahkan. Semoga mampu menjadikan setetes embun penyejuk yang menyegarkan. Bukan menambah keruh persoalan. Amin.

Penulis : Sufi Sahlah Ramadhan / Ketua Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia IAIN Purwokerto

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Mengingat Bapak Pendidikan Ki Hajar Dewantara, dan Relevansi Pendidikan Kekinian"

Post a Comment